Pentingnya Bukti Transaksi Dalam Akuntansi
Salah satu prinsip dasar yang dianut dalam Akuntansi adalah ‘Prinsip Konservatif’ (Conservatism prisnciple), yaitu prinsip yang menjujung kehati-hatian di atas sikap lainnya. Salah satu contoh konkret dari penerapan prinsip ini adalah ‘pendapatan diakui hanya bila sudah sungguh-sungguh terjadi, sementara biayanya sudah harus diakui’.
Lain daripada itu, Akuntansi tidak mengakui transaksi apapun (baik itu biaya maupun pendapatan) tanpa adanya cukup bukti yang menunjukan bahwa transaksi sungguh-sungguh terjadi.
[box type="info"]Misalnya: Salah satu pegawai membeli perlatan kantor (tinta printer, misalnya). Atas transaksi tersebut, kasir perusahaan mengeluarkan uang tunai sebesar Rp 100,000. Jika saat pulang pegawai yang berbelanja tidak membawa bukti transaksi (dalam hal ini ‘nota’). Maka transaksi tersebut tidak bisa dicatat, meskipun kenyataannya uang keluar dari perusahaan.[/box]
Mungkin ada yang bertanya: “Bukankah saldo Kas berkurang, dan sebagai pengimbang ada barang masuk (tinta printer), apakah itu tidak cukup bukti untuk mendukung kebenaran transaksi?”
Betul, ada kas keluar, ada barang masuk. Tetapi, berapa harga tintanya? Apakah benar-benar Rp 100,000? Tidak ada yang bisa menjamin kebenaran transaksi ini. Dalam kondisi demikian, Akuntansi menyarankan agar orang Akunting berhati-hati (konservatif)—tidak boleh percaya pada bahasa lisan (ucapan-ucapan atau pengakuan-pengakuan), hanya boleh percaya pada bukti transaksi.
Bukti transaksi bentuknya tidak selalu nota atau kwitansi, bisa jadi berupa surat pengakuan hutang/piutang, akte jual-beli, slip pemindahan dana (transfer) yang pesannya lengkap (untuk tujuan apa uang di transfer). Tanpa bukti di atas kertas, tidak ada transaksi apapun yang boleh diakui (dicatat).
Lain daripada itu, Akuntansi tidak mengakui transaksi apapun (baik itu biaya maupun pendapatan) tanpa adanya cukup bukti yang menunjukan bahwa transaksi sungguh-sungguh terjadi.
[box type="info"]Misalnya: Salah satu pegawai membeli perlatan kantor (tinta printer, misalnya). Atas transaksi tersebut, kasir perusahaan mengeluarkan uang tunai sebesar Rp 100,000. Jika saat pulang pegawai yang berbelanja tidak membawa bukti transaksi (dalam hal ini ‘nota’). Maka transaksi tersebut tidak bisa dicatat, meskipun kenyataannya uang keluar dari perusahaan.[/box]
Mungkin ada yang bertanya: “Bukankah saldo Kas berkurang, dan sebagai pengimbang ada barang masuk (tinta printer), apakah itu tidak cukup bukti untuk mendukung kebenaran transaksi?”
Betul, ada kas keluar, ada barang masuk. Tetapi, berapa harga tintanya? Apakah benar-benar Rp 100,000? Tidak ada yang bisa menjamin kebenaran transaksi ini. Dalam kondisi demikian, Akuntansi menyarankan agar orang Akunting berhati-hati (konservatif)—tidak boleh percaya pada bahasa lisan (ucapan-ucapan atau pengakuan-pengakuan), hanya boleh percaya pada bukti transaksi.
Bukti transaksi bentuknya tidak selalu nota atau kwitansi, bisa jadi berupa surat pengakuan hutang/piutang, akte jual-beli, slip pemindahan dana (transfer) yang pesannya lengkap (untuk tujuan apa uang di transfer). Tanpa bukti di atas kertas, tidak ada transaksi apapun yang boleh diakui (dicatat).
0 komentar:
Posting Komentar